Friday, March 30, 2012
Hadiah untuk Tuhan..
Di suatu sore yang indah, kami berjalan – jalan di taman. Aku dan Tuhan. Sementara matahari mulai menyembunyikan cahayanya, kami mencari sebuah bangku taman yang sedang menganggur. Hampir saja kami tidak menemukan bangku yang kosong, sampai akhirnya Dia mengajakku duduk di sebuah bangku taman yang hampir lapuk, di pojok sudut taman itu. Satu menit berlalu tanpa terucapkan sepatah katapun seakan waktu membiarkan kami menikmati indahnya sore itu, ciptaanNya. Tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin. Sedikit mendung, tetapi aku yakin hujan pun tak akan rela mengusik kami.
“Tuhan”, panggilku memulai pembicaraan. “Aku tahu Kau mencintaiku. Kau juga mengetahui segalanya yang ada padaku bahkan yang aku sendiri pun tidak tahu. Kau menolongku di saat badai menerjang, menggendongku melawan masalah - masalahku. Kau pun yang menghapus air mataku di kala semua orang meninggalkanku, yang semakin membuatku berharap kepadaMu, bukan kepada manusia. Kau mengecup dahiku disaat aku hampir terlelap setiap malam, hanya untuk membuatku tahu bahwa Kau selalu disampingku. Kau memanggilku sebagai anakMu, disaat aku merasa menjadi kacungMu pun aku tak layak. Kau yang mengubah segala kekecewaanku menjadi penuh pengharapan karena Kau memberikan aku gambaran tentang rencanaMu yang indah bagiku. Kau pun yang membisikan janji – janjiMu yang indah dan yang tidak pernah meluputkannya sampai semua itu tergenapi..” Aku menoleh untuk mengetahui apakah dia mendengarku. Dia tersenyum sambil memandangku lekat – lekat dengan mataNya yang berbinar dan wajahNya yang penuh dengan cahaya kemuliaanNya.
Bodohnya aku. Pastilah Ia mendengarku. Bahkan ia mendengar setiap isi hatiku, bahkan sebelum itu singgah di kerongkonganku. Aku ikut tersenyum, dan melanjutkan isi hatiku sambil memainkan rambutku. “Di saat aku ingin meninggalkanMu karena keegoisanku, Kau tetap menungguku karena KasihMu yang tak akan pernah meninggalkanKu. Awalnya aku sempat ragu dengan kuasaMu yang sanggup mengubah hidupku yang kotor. Tapi aku tahu aku salah semenjak Kau mengampuniku tanpa syarat apapun..” Terharu aku mengingat semua kebaikanNya, tanganku menggenggam tepian bangku taman itu dengan erat dan lebih erat. “Aku sempat berpikir bahwa kebahagiaan sesungguhnya adalah saat aku menikah nanti. Bertemu orang yang mencintai aku, yang tidak akan pernah meninggalkan aku. Yang selalu mendukungku, dan berkata aku cantik di kala aku melihat keburukanku di depan cermin. Tapi itu manusia. Sesuatu yang tidak kekal. Kau lebih dari itu, Tuhan. Kau memandangku seakan – akan aku ini permata yang paling bernilai sejagat raya, sampai terkadang aku heran, apa yang Kau lihat dari manusia hina seperti aku ini.”
TanganNya yang besar dan hangat itu dengan perlahan terangkat dan mendarat di pundakku. Nyaman sekali. Bagaikan selimut wol berlapis yang dipakai saat musim dingin tiba. “Itu memang benar, anakKu. Kau memang permata yang berharga bagiKu, bahkan darah tercurah untukmu pun Aku rela. Kau tahu itu.” Setitik air mataku pun jatuh, karena tidak pernah aku temui pengakuan yang begitu tulus di dunia ini sebelumnya. Aku berharga. Aku memandang wajahNya dan membalas pelukanNya. “Lalu Tuhan, Kau sudah mengasihiKu sedemikian rupa. Kau mengampuni kesalahanku yang tidak pernah Kau ungkit – ungkit lagi. Lalu, aku masih merasa berhutang, Tuhan. Aku ingin memberikanMu hadiah. Hadiah yang tidak akan pernah Kau lupakan, sama seperti aku tidak akan pernah melupakanMu. Tapi aku belum menemukan jawabannya, Tuhan. Kau mau apa dari aku, Tuhan? Apakah kau mau menerima kalung mutiara di leherku ini? Atau, Kau mau seluruh uangku? Atau apakah Kau mau menerima, emm.. sepatu merah kesayanganku ini? Aku rela, kok, Tuhan..”
“Hahahahaha,” Tertawalah Ia terbahak – bahak yang meninggalkan ekspresi terheran – heran di wajahku. “Kok ketawa, Tuhan? Aku serius, Tuhan. Atau kau mau semuanya? Aku rela, Tuhan.” Aku melirik tepat pada mataNya dan menyaksikan jenggotnya yang panjang tiba - tiba bergerak - gerak. Dengan menahan tawa, Dia menggenggam tanganku dan memandang wajahku yang penuh dengan tanda tanya dengan tersenyum. “Sylvia anakKu, apakah kau berpikir kalau kalung mutiaramu itu cocok dengan terusan putih ini? Atau sepatu merahmu yang mungil itu untuk kakiKu yang jauh lebih besar dari punyamu ini? Hahaha. Kau memang lugu. Itu adalah pemberianku untukmu. Kau ingat?.” Dia membetulkan dudukNya dan mengarahkan pandanganNya ke awan – awan yang merah itu. “Aku masih ingat dengan wajahmu yang terbelalak gembira sekali saat aku berikan kalung mutiara itu, atau sepatu merah itu untuk ulang tahunmu kemarin lewat orangtuamu. Aku tahu kamu sangat menyayangi benda itu. Tetapi, Aku tidak membutuhkan itu, anakku.”
Aku menundukan wajahku dengan sedikit sedih, dan dahiku yang berkerut menunjukkan sekali kalau aku sedang berpikir keras. ‘Apa sih yang Tuhan mau.. Apakah mobilku, atau…’ “Lalu Tuhan, apa yang Kau mau?” Menyerah aku berpikir, segera aku bertanya kepadaNya.
Kembali dia melayangkan pandanganNya ke arahku, dengan wajahNya yang lembut namun serius. “Kamu tahu, bahwa Aku mengasihiMu tanpa syarat. Kamu Aku kasihi bukan karena kamu berbuat baik kepada semua orang, atau kamu rajin berkunjung kerumahKu, tetapi karena Aku mau. Satu – satunya alasan Aku mengasihimu adalah karena Aku mengasihimu. Karena kamulah kalung mutiara itu bagiKu, bahkan lebih. Kamu tidak akan mengejar kalung mutiaramu kalau kalung itu terpeleset ke jurang, bukan? Tetapi aku rela melompatkan diri demi menyelamatkan kamu, anakKu. Aku memang sedih ketika kamu menginggalkan Aku, tetapi aku dengan melupakan pelanggaran – pelanggaranMu mencari engkau yang tersesat, dan tertusuk sakitnya dunia lalu melebarkan tanganKu untuk memelukmu dan menyelamatkanmu. Aku mengasihiMu tanpa syarat.” Tidak hanya setetes air mata saja yang mengalir ke pipiku. Aku tidak dapat berkata apa – apa, apalagi berpikir. Aku terharu.
Dia mencurahkan isi hatiNya kepadaku! “Tuhan, tapi aku hanya ingin menyenangkanMu.” Aku mengusap hidungku dan air mataku, sampai ada sebuah tangan yang menghapus air mataku. TanganNya. “Aku hanya ingin ini.” Ia menunjuk dadaku. “Aku hanya ingin hatimu. Hati yang sungguh – sungguh mencintai Aku. Hati yang selalu haus akan firmanKu. Hati yang melakukan apa yang Aku suka dan menjauhi apa yang Aku tidak suka. Hati yang berharap hanya padaKu. Hati yang hanya ingin menyenangkanKu dan hati yang tinggal di dalamKu. Sampai di surga nanti, ketika para penjaga gerbangKu tidak mengenalmu, aku akan berkata kepada mereka ‘Biarkan dia masuk, dia anakKu’ dan mempersilahkanmu masuk ke rumahmu yang sesungguhnya.”
Aku pun memelukNya dengan erat sampai tak rela aku melepaskannya. Aku hanya ingin seperti ini selamanya. Dekat denganNya sepanjang waktu. Berada di hadiratNya yang kudus. Aku hanya ingin berada di pelukanNya selamanya dan meninggalkan dunia yang kejam ini. Tetapi aku tahu, ini belum saatnya. Ia masih punya rencana yang lebih besar lagi untuk diriku. Untuk membuat namaNya lebih besar lagi. Supaya orang – orang dapat melihat kebesaranNya, merasakan kasihNya..
Aku hanya berharap sore itu tidak akan pernah beranjak menjadi malam..
Aku hanya ingin berada dekatNya..
By Sylvia Happy 30-3-2012 @16:31
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
WELCOME to my BLOG
= get your chips and read enjoyingly =
No comments:
Post a Comment